Minggu, 28 Agustus 2016

SAINS, TEKNOLOGI DAN ETIKA


SAINS, TEKNOLOGI
 DAN ETIKA

Dr. Eka Darmaputera.
Dipublikasikan Pdt. Sudiaro Laiya


1.       Kita sadari atau tidak,akhir-akhir ini saintisme semakin populer.   Bila
       semula sains itu terbatas pada sebagian saja dari wilayah kehidupan manusia, yaitu wilayah kehidupan manusiawi yang bersifat fisikal dan natural, saintisme berpendapat, bahwa asumsi serta metoda sains dapat dan harus diterapkan ke seluruh wilayah kehidupan manusia. Sains dianggap satu-satunya ilmu yang sahih dan otentik. Berlaku dan harus diberlakukan pada seluruh sektor dan aspek kehidupan.
          Salah satu disiplin ilmu yang mendapat serangan paling telak dan paling tajam, adalah etika. Asumsi-asumsi serta metode yang dipakai dalam etika, dianggap sebagai tidak ilmiah (=non-scientific), dan oleh karena itu tidak sah dan tidak layak diperhatikan. Norma-norma moral yang dilahirkan oleh etika yang non-scientific tadi, dipandang sebagai takhyul-takhyul irasional yang berasal dari zaman pra-sains, dan oleh sebab itu tidak dapat berlaku dan diberlakukan (cf. Jacques Monod, Chance and Necessity. New York : Alfred A. Knpf, 1971).
          Sekalipun menarik, saintisme yang telah berkembang menjadi semacam ideologi bagi  penganut-penganutnya itu,  adalah  suatu  yang berbahaya. Bukan saja bahwa dari sudut etika, saintisme itu akan melahirkan nihilisme (baca: suatu situasi yang tanpa nilai, dimana segala sesuatu itu baik-baik dan boleh-boleh saja, selama dapat dipertanggungjawabkan secara “ilmiah”), namun beberapa pemikir sebenarnya juga dengan serius telah memperlihatkan konsekuensi yang amat berbahaya secara politis dari “ideologi” semacam itu. Paling sedikit secara potensial, saintisme dapat memberikan dasar pembenaran yang rasional, misalnya bagi totalitarianisme (cf: Helmut Schock and James W. Wiggins, eds., Scientism and Values. Princcion, N.J.: Van Nostrand, Co., 1960). Mengapa demikian? Oleh karena saintisme memang tak pernah mempedulikan apakah sesuatu itu “benar” atau “baik” secara moral. Cukuplah bila sesuatu itu dapat dijelaskan dan dipahami secara “ilmiah”, serta-merta dianggapnya “benar” dan “baik” pula. Padahal, belum tentu, bukan?
          Melalui tulisan ini, saya akan mencoba dalam segala keterbatasan yang ada pada saya- untuk mengemukakan argumentasi, mengapa kita harus menolak “ideologi” saintisme tersebut.

2.       Saya tidak mengatakan, bahwa saintisme itu sama sekali tak ada man-   
fatnya. Katz, dan kemudian  d’Aquili bersama-sama dengan Laughlin, misalnya, dengan metode penelitian “ilmiah” mereka terhadap tingkah laku manusia di dalam masyarakat teknologi, menemukan sesuatu yang amat menarik. Mereka menyimpulkan antara lain, bahwa tingkah laku ritual dan religius manusia ternyata mempunyai hubungan yang amat erat dengan kebutuhan bio-fisisnya. (cf: Salomon H. Katz, Toward a new science of humanity; Eugena d’Aquili and Charles Laughlin, Jr., The biopsychological determinants of religius behaviour, dalam Zigon 10, 1975).
          Dengan penelitian yang lebih lanjut, saya berpendapat bahwa kesimpulan mereka dapat merupakan sesuatu terobosan yang penting. Para penganut saintisme yang selama ini meremehkan dan menyepelekan dimensi religius dalam kehidupan manusiawi, -hanya oleh karena ia tidak atau belum dapat dijelaskan melalui metode sains mereka - apabila mereka mempunyai kejujuran intelektual, tentu dipaksa untuk meninjau ulang sikap serta praduga mereka.
Tetapi ini bukanlah merupakan tujuan tulisan ini.

3.       Concern, saya justru sebaliknya. Hasil penelitian di atas dan banyak   
yang lain lagi, sebenarnya tidak cuma melahirkan pertanyaan dan tantangan baru bagi para ilmuwan di bidang sains. Melainkan juga, bahkan terutama, ia memperhadapkan pertanyaan-pertanyaan yang amat fundamental bagi mereka yang berkecimpung di bidang etika, khususnya mereka yang mempunyai asumsi-asumsi teologis-religius dalam etika mereka.
           Pertanyaan-pertanyaan itu, misalnya ini. Apabila memang benar, bahwa tingkah laku religius manusia itu, mempunyai hubungan yang erat, bahkan menemukan dasarnya, pada kebutuhan bio-psikis dan bio-fisis manusia, apakah manusia masih mempunyai kebebasan untuk memilih dan mengambil keputusan mengenai ritus, mitos dan simbol-simbol religiusnya? Ataukah, yang terjadi adalah, semua ini telah ditentukan secara pasti oleh dan di dalam struktur biopsikis dan biofisis tersebut?
          Bila tidak ada kemungkinan untuk memilih, apakah itu berarti kita juga tidak mungkin melakukan penilaian benar-salahnya atau baik-jahatnya “yang ada” yang telah pasti itu? Jika benar demikian, etika tentu tak mempunyai hak hidup lagi.
          Namun, bila kemungkinan untuk memilih itu ada, dari mana dan atas dasar apa manusia mempunyai norma untuk melakukan pilihan tersebut? Apakah norma itu dapat dicari dan diketemukan di dalam struktur biopsikis dan biofisis manusia sendiri? Atau mesti dicari di luar itu? Bila di luar, dimana?

4.   Pertanyaan-pertanyaan itu amat fundamental untuk etika. Sebab bila biologi manusia itu bersifat determinatif dan mutlak, etika memang harus gulung tikar. Sebab etika ada, oleh karena asumsi bahwa manusia dapat dan harus melakukan pilihan serta mengambil keputusan dalam situasi yang relatif bebas. Etika berbicara tentang “apa yang seharusnya”, yang tidak selamanya identik dan dapat diketemukan di dalam “apa yang ada”. What ought terhadap what is.

5. Jelaslah persoalannya, ternyata tidak lebih dan tidak kurang, adalah persoalan bagaimana kita memahami manusia itu : “apa” atau “siapa” manusia itu.
         Saintisme cenderung berbicara tentang manusia sebagai “apa”. Sebagai sesuatu obyek yang merupakan hasil perpaduan dan persenyawaan kimiawi yang kompleks, yang semuanya ingin dijelaskan secara “alamiah” dan “ilmiah”.
          Etika berbicara tentang manusia sebagai “siapa”. Manusia adalah suatu subyek, yang tentu saja terikat dan terbatas oleh kenyataan-kenyataan alamiah, namun demikian toh tidak cuma itu. Manusia tidak cuma obyek yang pasif terhadap “apa yang ada”, melainkan subyek yang aktif yang selalu bertanya dan mencari tentang “apa yang seharusnya”.
          Sebab itu etika mengerti manusia, sebagai binatang pencari “makna”. Ia tidak hanya hidup, melainkan selalu mempersoalkan kehidupannya itu : titik tolak, isi dan tujuannya. Ia mencari “makna”, oleh karena ia menyadari bahwa “makna” itu tidak dengan sendirinya dapat diketemukan di dalam “apa yang ada”. Tentu saja ia terikat pada “apa yang ada”, namun ia juga relatif bebas untuk bertindak menurut  “apa yang seharusnya” yang ia yakini. Oleh karena itulah, hidup manusia ditandai oleh tuntutan untuk memilih dan mengambil keputusan. Itulah yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain.
          Selama manusia masih memilih dan mengambil keputusan, selama manusia mempunyai perbedaan asasi dengan binatang atau tumbuh-tumbuhan, etika secara fungsional masih mempunyai hak hidup serta peranan.

6. Sekiranya kita sependapat, bahwa manusia memang dapat dan harus memilih, persoalan kita sekarang adalah: bagaimana ia mesti memilih? Atas dasar apa? Dan dasar pilihan itu, ia peroleh dari mana? Dari apa yang ada”? Atau dari luar dari “apa yang ada”?
          Asumsi yang hendak dikemukakan di sini adalah: bahwa memang benar kenyataan-kenyataan alamiah manusia mendesakkan di dalam diri manusia, suatu kebutuhan untuk memilih: memang benar bahwa: pilihan itu harus dilaksanakan oleh manusia di dalam konteks dan batas-batas kenyataan alamiah; namun demikian, bagaimana manusia itu memilih, artinya norma-norma dengan apa ia memilih, tidak mungkin dapat dijelaskan hanya oleh kenyataan-kenyataan alamiah itu sendiri. “Apa yang seharusnya” tidak mungkin sepenuhnya lahir dari “apa yang ada”. Sesuatu yang mempunya fungsi kritis terhadap “apa yang ada” tidak mungkin sepenuhnya berasal dari “apa yang ada”.

7.  Di belakang tindakan dan pemikiran manusia, ada sesuatu yang tidak mungin secara tuntas dijelaskan melalui model-model dan metafor-metafor alamiah dan ilmiah.
          Inilah dimensi “supernatural itu”.
          Namun, jangan hendaknya anda salah memperkirakan, seolah-olah saya tidak menantang “saintisme” dengan “supernaturalisme”. Sama sekali tidak! Bila saya berbicara supernatural, saya tidak berbicara mengenai sesuatu yang berada di luar (= out side) yang bertentangan dengan alam. Yang saya bicarakan adalah sesuatu yang melampaui (=beyond) alam, artinya tidak bertentangan, tetapi tidak dapat sepenuhnya dipahami sebagai gejala atau fenomena alamiah semata-mata.
          Tatkala manusia secara kreatif berusaha menciptakan sintesa-sintesa baru, ketika ia merancang dan membayangkan masa depan idaman yang baru, sementara di antara yang ada ia memilih yang paling bermakna, di situ kita berjumpa dengan suatu unsur kenyataan yang tak kunjung tuntas dijelaskan melalui analisa alamiah dan ilmiah belaka. Di situ, kita berjumpa dengan dimensi yang melampaui alam, dimensi yang supernatural.

8. Sesungguhnyalah, tidak ada satu wilayah pun di dalam kehidupan dan tindakan manusia yang bebas dari dimensi etis. Selama dalam kehidupannya, manusia masih mempertanyakan yang benar dari yang salah, mengusahakan yang baik dari yang jahat, selama itulah manusia tak dapat menghindarkan diri dari pilihan-pilihan etis. Setiap keputusan yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat, selalu mengandung dimensi etis.
           Dan selama dimensi etis itu ada, demikian pula dimensi religius atau dimensi supernatural ada. Yang saya maksudkan dengan dimensi religius, bukanlah selalu yang bersifat struktural dan institusional, melainkan segala sesuatu yang menyangkut nilai-nilai manusiawi yang paling sentral dan hakiki, yang atas dasar mana kita melakukan penilaian atas segala sesuatu yang lain, di dalam kehidupan kita. (cf. Richard Niebuhr, Radical Monotheism and Western Culture. New York: Harper & Row, 1960).Segala sesuatu yang menurut Paul Tillich, yang menyangkut ultimate concern manusia, dan oleh karenanya menuntut suatu komitmen yang total.
           Yang saya katakan di atas, sama sekali tidak mengada-ada. Ia sebenarnya selalu terjadi di dalam kenyataan. Misalnya, ketika sementara ilmuwan berbicara, dan oleh karena itu memberi peringatan, tentang terancamnya struktur lingkungan hidup manusia akibat pengurasan sumber-sumber alam secara tidak bertanggungjawab, peledakan penduduk dan polusi. Apakah sebenarnya yang terjadi di sini? Saya tidak menyangkal bahwa ilmuwan-ilmuwan itu mengemukakannya berdasarkan analisa data alamiah yang mereka lakukan secara ilmiah. Tentu! Tetapi sekaligus dengan itu, sadar atau tanpa sadar di belakang benak mereka, mereka tentu mempunyai prakonsepsi-prakonsepsi tentang apa kehidupan yang “baik” itu, tentang apa kualitas hidup yang “manusiawi” itu. Sebab bila tidak begitu, mereka tentu tak perlu memberi peringatan dan mencanangkan tanda bahaya. Tetapi bila demikian halnya, kita harus mengatakan bahwa apa yang “baik” dan apa yang “manusiawi” itu adalah sesuatu yang tidak dapat diukur menurut parameter-parameter ilmiah dan alamiah. Tidak dapat, oleh karena keduanya mengandung dimensi-dimensi supernatural. Sekali lagi, bukan yang bertentangan dengan atau berada di luar alam, tetapi dimensi yang melampaui alam, dimensi yang ekstra-empiris. Itulah yang terjadi setiap kali seorang ilmuwan tidak hanya merasa berkewajiban untuk menjelaskan, tetapi juga memperingatkan.

9. Ada pula yang harus saya kemukakan tentang perbedaan antara “sains” dan “teknologi”, tentu saya dari perspektif etika sosial (cf. R.B. Lindsay, The Scientific and technological revolution and their implication for society, Zigon 7, 1972).
          Secara amat sederhana dapat saya katakan, bahwa tujuan paling akhir dari sains adalah untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang dunia bahkan seluruh alam semesta, sedangkan tujuan teknologi adalah sedapat-dapatnya mengubah dunia. Tentu ada hubungan yang amat erat antara keduanya. Begitu eratnya, sehingga kita mengenal apa yang disebut scientific technology pada satu pihak, dan technological science pada pihak lain. Tanpa sains, teknologi tak dapat berkembang. Tanpa teknologi, sains mandul tanpa efek praktis.
           Namun demikian, keduanya tidak selalu berjalan bersama-sama. Pada sains, orang berusaha mengetahui apa yang ia kuasai. Pada teknologi, orang berusaha menguasai apa yang ia ketahui. Tapi kita tahu, bahwa di dalam kenyataan kita mengetahui ada beberapa hal yang tidak dapat kita kuasai, dan sebaliknya kita dapat menguasai beberapa hal yang tidak dapat kita ketahui. Dalam logika sains, kita tidak harus menguasai apa yang kita ketahui. Dalam logika teknologi, kita tidak harus mengetahui apa yang kita kuasai.

10. Yang ingin saya katakan adalah, bahkan teknologi tidak pernah cukup dijelaskan hanya berdasarkan kategori-kategori sains saja. Teknologi mengimplikasikan pilihan. Pilihan yang menurut keputusan. Dan keputusan yang tidak cuma menyangkut pertimbangan-pertimbangan ilmiah serta alamiah semata-mata. Pemilihan teknologi tertentu jauh lebih sering kita pahami berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat supernatural dari pada natural. Misalnya: bagaimanakah secara ilmiah dapat kita jelaskan penggunaan teknologi medis yang mahal untuk menolong seorang janda berusia 80 tahun yang sebatang kara dan tidak punya apa-apa serta mengidap penyakit kanker dalam stadiun lanjut? Bagaimanakah secara ilmiah dapat kita jelaskan tentang perdebatan mengenai pemanfaatan tenaga nuklir dan pembangunan reaktor-reaktor nuklir. Maksud saya, bila pertimbangan sains saja yang diperlukan di sini, perlukah sebenarnya perdebatan itu? Atau, apa yang terjadi ketika kita harus mempertimbangkan atau tidak memperkembangkan proyek rekayasa genetik? Apakah sains itu sendiri membekali manusia dengan pertimbangan yang diperlukan untuk mengambil keputusan?

11. Oleh karena itu, saya mempunyai keyakinan yang dalam, bahwa teknologi selalu mengandung di dalamnya nilai-nilai yang menuntut komitmen kepada sesuatu yang bersifat supernatural. Ia mengandung persoalan-persoalan etis. Ia mengandung persoalan-persoalan yang tidak dapat dijawab baik oleh teknologi maupun oleh sains yang melahirkannya. Ia menuntut keputusan etis. Tetapi, di sinilah justru kita berhadapan dengan permasalahan yang rumit. Yaitu ketika kita harus mengatakan, bahwa teknologi sebenarnya tidak hanya dan tidak boleh hanya menjadi urusan para teknolog dan teknokrat. Bagaimana kita harus mengambil keputusan etis tentang masalah-masalah sains dan teknologi? Siapa yang harus mengambil keputusan itu?

12. Etika adalah ilmu yang bersifat normatif dan yang menganut metode pendekatan yang bersifat preskriptif. Walaupun saya tidak menyangkal bahwa di dalam praktek sering kali memang terjadi seperti apa yang dituduhkan oleh sementara ilmuwan yang bergerak di bidang sains, yaitu bahwa etika melakukan pendekatan serta analisa yang tidak ilmiah, tidak rasional, tidak relevan dan sewenang-wenang, etika yang benar sesungguhnya tidaklah demikian. Etika memang tidak mengklaim dirinya obyektif, deskriptif dan bebas nilai, tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa ia tidak ilmiah. Ini tentu saja apabila yang dimaksudkan dengan “ilmiah” itu tidak hanya apa yang dimengerti oleh saintisme. Ilmiah di sini yang dimaksudkan adalah: ia mempunyai asumsi-asumsi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, ia melakukan analisis secara rasional, logis dan jernih dan ia melakukan pendekatan masalah secara konsisten, koheren dan sistematis.
           Sesuai dengan hakekat dan fungsinya, etika adalah ilmu yang secara ilmiah bertugas untuk melakukan penilaian terhadap kenyataan, dan bertujuan untuk membantu manusia ketika ia harus memilih dan mengambil keputusan mengenai apa yang benar dan salah (deontologis), apa yang baik dan jahat (teleologis), bahkan apa yang tepat dan tidak tepat (kontekstual) bagi tindakan manusia, baik secara individual ataupun secara kelompok.
          Bagaimana ia melakukan penilaian atau keputusan itu? Ia melakukannya tidak hanya dengan membabi-buta menerapkan dan memaksakan norma-norma yang diasumsikannya (inilah yang sering dituduhkan sebagai kesewenang-wenangan etika itu), tetapi dengan pertama-tama berusaha untuk mengetahui sedapat-dapatnya dan selengkap-lengkapnya yang harus dinilainya itu. Mengambil keputusan etis di dalam masalah-masalah yang menyangkut sains dan teknologi, berarti: pertama-tama berusaha untuk sedapat-dapatnya dan selengkap-lengkapnya mengetahui segala sesuatu yang menyangkut sains dan teknologi itu.

13. Persoalan kita mulai persis di situ. Charles Birch, seorang bio-sainitis, di dalam kertas kerjanya yang dikemukakan dalam salah satu dalam pertemuan Dewan Gereja-Gereja se Dunia di Potsdam, Jerman Timur, baru-baru ini mengemukakan dengan jelasnya (dengan menyindir buku Arthur Koestler, Bricks to Babel) betapa terpilah-pilahnya dunia para ilmuwan itu, sehingga yang satu tak mungkin lagi mengerti dan berbicara dengan yang lain. Dunia ilmiah manusia di abad  modern ini ditandai dengan semakin meraksasanya kompartementalisasi dan semakin rumitnya spesialisasi ilmu. Setiap ilmu mempunyai terminologi dan credo (syahadat)nya sendiri-sendiri. Seperti kisah menara Babel, para insinyur sekarang ini tak dapat lagi memahami apa yang dikatakan oleh para pendeta, dan sebaliknya. Begitu sulit para pembuat batu bata itu memahami visi si arsitek, begitu sulit para ahli filsafat sepakat tentang apa mestinya fungsi menara itu, dan begitu sulit para konservasionis serta para penyajak mengatasi rasa marah mereka melihat apa yang menurut anggapan mereka sebagai pencemaran dan penajisan lingkungan kehidupan yang seharusnya dikuduskan. Semakin tinggi menara itu, semakin hebat pula pertengkaran di antara pembangunnya. Akhirnya semua komunikasi pun akan hancur. Apa pun maksud baik ketika orang mulai membangun menara itu, semuanya berakhir menguap ke udara tanpa sisa.

14. Menurut Birch, krisis pengetahuan dewasa ini adalah krisis ahli-ahli. Model yang dominan dari ilmu pengetahuan sekarang adalah bahwa ilmu pengetahuan itu seolah-olah dapat dibagi-bagi ke dalam kompartemen-kompartemen yang disebut disiplin-disiplin. Di mana satu disiplin relatif bebas terhadap disiplin yang lain. Yang disebut ahli adalah selalu spesialis di dalam satu disiplin. Dan kemudian orang berpikir, bahwa kalau saja suatu masyarakat mempunyai spesialis-spesialis dari semua disiplin, maka para ahli itu yang akan membimbing seluruh masyarakat kepada tindakan yang benar bahkan kepada kebenaran itu sendiri.
          Kenyataan ternyata tidak menunjukkan demikian. Menurut Birch, oleh karena dua alasan : Pertama, ilmu pengetahuan tidak dapat dibagi ke dalam kompartemen-kompartemen yang terpisah-pisah tanpa kehilangan kesatuannya, yaitu kesatuan yang tidak mungkin dapat dikuasai oleh satu-satu segmen apa pun juga. Ilmu pengetahuan bukanlah batu bata untuk membangun menara. Teori bahwa ilmu pengetahuan itu seolah-olah bertumbuh secara akumulatif, yaitu seperti kita menumpuk batu bata semakin lama semakin tinggi, adalah teori yang salah oleh karena tidak sesuai dengan kenyataan. Yang terjadi ialah, bahwa ilmu pengetahuan itu bertumbuh dalam satu proses yang selalu bersifat membongkar bangunan yang lama dan membangun yang baru, dan oleh karena itu selalu berarti membutuhkan fondasi-fondasi dan perekat-perekat yang baru setiap kali.
            Alasan kedua, mengapa disiplin-disiplin itu tidak dapat membawa manusia kepada kebenaran dan menuntun manusia kepada tindakan yang benar adalah: oleh karena disiplin-disiplin itu tidak lagi mempunyai perekat yang religius. Masing-masing disiplin seolah-olah hanya mempunyai tanggungjawab moral terhadap satu dua bagian saja dari manusia dan tidak terhadap kesejahteraan manusia seutuhnya. Malah yang terjadi juga adalah, bahwa setiap disiplin terlibat di dalam persaingan yang sengit dan disiplin-disiplin lainnya, yang satu tidak menyukai dan merendahkan yang lain, masing-masing mengagulkan dan mengunggulkan kemuliaan dirinya masing-masing. Dan semakin tercabik-cabiklah kehidupan manusia. Sains dan agama. Ekonomi dan ekologi. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Yang satu tak dapat berbicara dengan yang lain. Atau mungkin berbicara juga, tapi saling tak mengerti.

15. Di dalam situasi seperti itu, sains dan teknologi adalah batu-batu bata. Agama adalah batu bata yang lain. Celakanya, keduanya tak terekat dengan sempurna. Sekadar tertumpuk-tumpuk secara lepas, yang membuat semakin tinggi menara itu semakin goyah dan semakin berbahayalah ia. Yang semestinya menjadi perekat atau jembatan antara keduanya adalah etika. Tapi, yang menjadi masalah ialah, etika dianggap – dan lebih celaka menganggap diri – juga sekadar sebagai salah satu dari batu-batu yang ada. Para etikus juga menjadi spesialis. Mereka hanya concerned pada satu dua dimensi saja dari totalitas manusia. Namun, bagaimana tidak? Spesialisasi ilmu pengetahuan telah menjadi begitu rumit, sehingga tak seorang etikus pun dapat (dan memang lebih baik tidak!) mengklaim mengetahui selengkap-lengkapnya.
          Pada pihak lain, membiarkan keadaan berjalan terus seperti ini, membuat kita bertanya-tanya: apakah memang sudah “seharusnya” (ini persoalan etis!) kita harus membiarkan sains dan teknologi menemukan dan menetapkan nilai-nilai etis mereka sendiri? Dan lagi, bagaimana kita mesti menilai nilai-nilai itu? Bagi saya, ini lebih merupakan sebuah dilema. Kita tahu permasalahannya, tanpa tahu apa jawabnya. Dan memang bukan sayalah yang harus menjawabnya, sebab jawab itu harus kita cari bersama-sama, kita temukan bersama-sama, kita tetapkan bersama-sama. Dari sudut pandang kita masing-masing tentu, tetapi dengan melihat manusia dan kehidupan sebagai suatu keutuhan.

16. Bila ada satu hal yang dapat saya kemukakan mengenai tang-gungjawab etis dari sains dan teknologi, maka itu adalah ini. Sudah terlampau lama dan terlampau biasa kita memahami, dan oleh karena itu melakukan, sains dan teknologi itu dengan berpusat pada manusia (antroposentris). Oleh manusia dan untuk manusia. Mungkin kita bertanya, bila bukan oleh dan untuk manusia, untuk apa atau siapa lagi?
     Pertama, sains dan teknologi yang antroposentris melihat manusia terpisah atau paling sedikit di atas atau bebas terhadap segala sesuatu yang non manusia. Kedua, sains dan teknologi yang antroposentris, melihat segala sesuatu yang non manusia bukan sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan pada dirinya sendiri, tetapi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Cara berpikir seperti itu telah membawa akibat-akibat yang tidak menggembirakan, bahkan amat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia sendiri. Pandangan etis, seolah-olah apa yang baik untuk manusia berarti baik, sudah sepantasnya ditinggalkan. Bukan apa yang baik untuk manusia saja yang harus menjadi norma etis kita, tetapi apa yang baik untuk seluruh kehidupan itulah yang harus diperjuangkan. Dan oleh karena kehidupan manusia itu bersifat saling tergantung dengan lingkungan kehidupannya, maka yang baik adalah yang baik bukan saja bagi manusia tetapi juga bagi lingkungannya. Maksud saya, yang harus diperkembangkan adalah sains maupun teknologi yang berorientasi pada kehidupan secara utuh. Suatu etika yang menghargai bahwa setiap kehidupan (dan bukan kehidupan manusia saja) mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

17. Teknologi jelas-jelas bukan tujuan tetapi alat. Seharusnyalah ia demikian. Tetapi bagaimana di dalam kenyataan? Teknologi ternyata bukan hanya hamba tetapi juga tuan. Ia adalah ciptaan yang menguasai manusia. Teknologi tidak lagi menjadi sesuatu yang netral secara etis. Baik atau buruknya teknologi menjadi amat tergantung kepada siapa yang menguasai teknologi itu. Bukan saja seperti telah dikemukakan di atas, teknologi hanya dipahami dan dikuasai oleh para teknolog, yang lebih berbahaya lagi ialah bahwa teknologi yang paling canggih dan biasanya di sektor kehidupan yang paling vital ia dikuasai oleh minoritas elit yang berkuasa atau yang berpunya. Dengan amat mudahnya teknologi berubah menjadi alat untuk manipulasi dan menguasai kepentingan mayoritas demi kepentingan minoritas yang menguasainya. Dan alat yang amat sangat ampuhnya. Teknologi yang mempunyai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan karena itu mengusahakan keadilan, juga mempunyai potensi yang sama besarnya untuk menjadi alat penindas, yang mengamankan dan melanggengkan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan. Baik antar negara, maupun antar kelompok di dalam masyarakat.
           Ini terjadi, oleh karena monopoli teknologi. Teknologi hanya dimiliki oleh sekelompok kecil manusia. Teknologi hanya merupakan hasil keputusan sekelompok kecil manusia pula. Tetapi dampaknya menyangkut hayat hidup semua orang. Ini harus diterobos. Teknologi harus dijadikan alat untuk mendatangkan kesejahteraan banyak orang dan lebih mewujudkan keadilan. Ini hanya mungkin terjadi bila proses pengambilan keputusan dan pemilihan teknologi melibatkan dan mengikutsertakan sebanyak mungkin orang. Ada pertanyaan yang mengganggu yang belum kunjung terjawab sampai saya membuat makalah ini : apa sebenarnya itu mungkin? Teknologi untuk rakyat dan di tangan rakyat? Teknologi untuk pembebasan dan keadilan? Ataukah, menurut defenisi, teknologi itu memang selalu elitis? Mengikat manusia dari pada membebaskannya? Memperlebar kesenjangan daripada menutupnya? Mengatur dan tak dapat diatur?
           Ada dimensi etis di dalam teknologi. Tetapi apakah etika dapat berbuat sesuatu terhadap teknologi? Atau sebaliknya, etika pun pada satu saat mesti tunduk kepada pertimbangan-pertimbangan teknologi, atau gulung tikar? Saya betul-betul tidak tahu. Saya betul-betul kepingin diberi tahu. Sebab yang terbayang di benak saya adalah, misalnya, komplek industri militer, korporasi multi-nasional, teknologi sandi, intelijen dan propaganda…..



                

TUGAS  (II) PAK

Sains, Teknologi dan Etika



1.       Apa alasan mendasar bagi saintisme menolak dan tidak mengakui etika sebagai salahsatu disiplin ilmu yang sah?

  1. Jelaskan secara ringkas dan tepat perbedaan antara sains dan teknologi dilihat dari sudut tujuan yang hendak dicapai keduanya.

  1. Berikan beberapa argumentasi secara ringkas dan tepat, mengapa kita harus menolak ideologi saintisme?

  1. Jelaskan secara ringkas, tegas dan tepat apa yang seharusnya merupakan norma etis dari sains dan teknologi?

  1. Berikan penjelasan dengan tepat apa yang menyebabkan teknologi itu bukan hanya mendatangkan kesejahteraan tetapi juga bisa berpotensi mendatangkan malapetaka.

  1. Jelaskan apa yang harus dilakukan agar teknologi itu tetap mendatangkan kesejahteraan bagi banyak orang.

  1. Jelaskan apa sebab, bahwa yang menjadi norma etis bagi kita untuk mengembangkan sains dan teknologi, harus selalu berorientasi pada kehidupan secara utuh dan menyeluruh.

  1. Jelaskan apa yang menjadi bahaya jika dalam hal melakukan sains dan teknologi itu harus berpusat pada manusia (antroposentris).


Tugas ini diketik dengan komputer.
Diserahkan kembali pada waktu yang ditentukan oleh dosen.