SAINS, TEKNOLOGI
DAN ETIKA
Dr.
Eka Darmaputera.
Dipublikasikan Pdt. Sudiaro Laiya
1.
Kita
sadari atau tidak,akhir-akhir ini saintisme semakin populer. Bila
semula sains itu terbatas pada sebagian saja dari wilayah kehidupan
manusia, yaitu wilayah kehidupan manusiawi yang bersifat fisikal dan natural,
saintisme berpendapat, bahwa asumsi serta metoda sains dapat dan harus
diterapkan ke seluruh wilayah kehidupan manusia. Sains dianggap satu-satunya
ilmu yang sahih dan otentik. Berlaku dan harus diberlakukan pada seluruh sektor
dan aspek kehidupan.
Salah satu disiplin ilmu yang mendapat serangan paling telak dan paling
tajam, adalah etika. Asumsi-asumsi serta metode yang dipakai dalam etika,
dianggap sebagai tidak ilmiah (=non-scientific), dan oleh karena itu tidak sah
dan tidak layak diperhatikan. Norma-norma moral yang dilahirkan oleh etika yang
non-scientific tadi, dipandang sebagai takhyul-takhyul irasional yang berasal
dari zaman pra-sains, dan oleh sebab itu tidak dapat berlaku dan diberlakukan
(cf. Jacques Monod, Chance and Necessity. New York : Alfred A.
Knpf, 1971).
Sekalipun menarik, saintisme yang telah berkembang menjadi semacam
ideologi bagi penganut-penganutnya
itu, adalah suatu
yang berbahaya. Bukan saja bahwa dari sudut etika, saintisme itu akan
melahirkan nihilisme (baca: suatu situasi yang tanpa nilai, dimana segala
sesuatu itu baik-baik dan boleh-boleh saja, selama dapat dipertanggungjawabkan
secara “ilmiah”), namun beberapa pemikir sebenarnya juga dengan serius telah
memperlihatkan konsekuensi yang amat berbahaya secara politis dari “ideologi”
semacam itu. Paling sedikit secara potensial, saintisme dapat memberikan dasar
pembenaran yang rasional, misalnya bagi totalitarianisme (cf: Helmut Schock and
James W. Wiggins, eds., Scientism and Values. Princcion, N.J.: Van
Nostrand, Co., 1960). Mengapa demikian? Oleh karena saintisme memang tak pernah
mempedulikan apakah sesuatu itu “benar” atau “baik” secara moral. Cukuplah bila
sesuatu itu dapat dijelaskan dan dipahami secara “ilmiah”, serta-merta
dianggapnya “benar” dan “baik” pula. Padahal, belum tentu, bukan?
Melalui tulisan ini, saya akan mencoba dalam segala keterbatasan yang
ada pada saya- untuk mengemukakan argumentasi, mengapa kita harus menolak
“ideologi” saintisme tersebut.
2.
Saya
tidak mengatakan, bahwa saintisme itu sama sekali tak ada man-
fatnya. Katz, dan kemudian d’Aquili bersama-sama dengan Laughlin,
misalnya, dengan metode penelitian “ilmiah” mereka terhadap tingkah laku
manusia di dalam masyarakat teknologi, menemukan sesuatu yang amat menarik.
Mereka menyimpulkan antara lain, bahwa tingkah laku ritual dan religius manusia
ternyata mempunyai hubungan yang amat erat dengan kebutuhan bio-fisisnya. (cf:
Salomon H. Katz, Toward a new science of humanity; Eugena
d’Aquili and Charles Laughlin, Jr., The biopsychological determinants of
religius behaviour, dalam Zigon 10, 1975).
Dengan penelitian yang lebih lanjut, saya berpendapat bahwa kesimpulan
mereka dapat merupakan sesuatu terobosan yang penting. Para penganut saintisme
yang selama ini meremehkan dan menyepelekan dimensi religius dalam kehidupan
manusiawi, -hanya oleh karena ia tidak atau belum dapat dijelaskan melalui
metode sains mereka - apabila mereka mempunyai kejujuran intelektual, tentu
dipaksa untuk meninjau ulang sikap serta praduga mereka.
Tetapi ini bukanlah merupakan tujuan
tulisan ini.
3.
Concern, saya justru sebaliknya. Hasil penelitian
di atas dan banyak
yang lain lagi, sebenarnya tidak cuma
melahirkan pertanyaan dan tantangan baru bagi para ilmuwan di bidang sains.
Melainkan juga, bahkan terutama, ia memperhadapkan pertanyaan-pertanyaan yang
amat fundamental bagi mereka yang berkecimpung di bidang etika, khususnya
mereka yang mempunyai asumsi-asumsi teologis-religius dalam etika mereka.
Pertanyaan-pertanyaan itu, misalnya ini. Apabila memang benar, bahwa
tingkah laku religius manusia itu, mempunyai hubungan yang erat, bahkan
menemukan dasarnya, pada kebutuhan bio-psikis dan bio-fisis manusia, apakah
manusia masih mempunyai kebebasan untuk memilih dan mengambil keputusan
mengenai ritus, mitos dan simbol-simbol religiusnya? Ataukah, yang terjadi
adalah, semua ini telah ditentukan secara pasti oleh dan di dalam struktur
biopsikis dan biofisis tersebut?
Bila tidak ada kemungkinan untuk memilih, apakah itu berarti kita juga
tidak mungkin melakukan penilaian benar-salahnya atau baik-jahatnya “yang ada”
yang telah pasti itu? Jika benar demikian, etika tentu tak mempunyai hak hidup
lagi.
Namun, bila kemungkinan untuk memilih itu ada, dari mana dan atas dasar
apa manusia mempunyai norma untuk melakukan pilihan tersebut? Apakah norma itu
dapat dicari dan diketemukan di dalam struktur biopsikis dan biofisis manusia
sendiri? Atau mesti dicari di luar itu? Bila di luar, dimana?
4.
Pertanyaan-pertanyaan itu amat fundamental untuk etika. Sebab bila
biologi manusia itu bersifat determinatif dan mutlak, etika memang harus gulung
tikar. Sebab etika ada, oleh karena asumsi bahwa manusia dapat dan harus
melakukan pilihan serta mengambil keputusan dalam situasi yang relatif bebas.
Etika berbicara tentang “apa yang seharusnya”, yang tidak selamanya identik dan
dapat diketemukan di dalam “apa yang ada”. What ought terhadap what is.
5. Jelaslah persoalannya, ternyata tidak
lebih dan tidak kurang, adalah persoalan bagaimana kita memahami manusia itu :
“apa” atau “siapa” manusia itu.
Saintisme cenderung berbicara tentang manusia sebagai “apa”. Sebagai
sesuatu obyek yang merupakan hasil perpaduan dan persenyawaan kimiawi yang
kompleks, yang semuanya ingin dijelaskan secara “alamiah” dan “ilmiah”.
Etika berbicara tentang manusia sebagai “siapa”. Manusia adalah suatu
subyek, yang tentu saja terikat dan terbatas oleh kenyataan-kenyataan alamiah,
namun demikian toh tidak cuma itu. Manusia tidak cuma obyek yang pasif terhadap
“apa yang ada”, melainkan subyek yang aktif yang selalu bertanya dan mencari tentang
“apa yang seharusnya”.
Sebab itu etika mengerti manusia, sebagai binatang pencari “makna”. Ia
tidak hanya hidup, melainkan selalu mempersoalkan kehidupannya itu : titik
tolak, isi dan tujuannya. Ia mencari “makna”, oleh karena ia menyadari bahwa
“makna” itu tidak dengan sendirinya dapat diketemukan di dalam “apa yang ada”.
Tentu saja ia terikat pada “apa yang ada”, namun ia juga relatif bebas untuk
bertindak menurut “apa yang seharusnya”
yang ia yakini. Oleh karena itulah, hidup manusia ditandai oleh tuntutan untuk
memilih dan mengambil keputusan. Itulah yang membedakannya dengan
makhluk-makhluk lain.
Selama manusia masih memilih dan mengambil keputusan, selama manusia
mempunyai perbedaan asasi dengan binatang atau tumbuh-tumbuhan, etika secara
fungsional masih mempunyai hak hidup serta peranan.
6. Sekiranya kita sependapat, bahwa manusia
memang dapat dan harus memilih, persoalan kita sekarang adalah: bagaimana ia
mesti memilih? Atas dasar apa? Dan dasar pilihan itu, ia peroleh dari mana?
Dari apa yang ada”? Atau dari luar dari “apa yang ada”?
Asumsi yang hendak dikemukakan di sini adalah: bahwa memang benar
kenyataan-kenyataan alamiah manusia mendesakkan di dalam diri manusia, suatu
kebutuhan untuk memilih: memang benar bahwa: pilihan itu harus dilaksanakan
oleh manusia di dalam konteks dan batas-batas kenyataan alamiah; namun
demikian, bagaimana manusia itu memilih, artinya norma-norma dengan apa ia
memilih, tidak mungkin dapat dijelaskan hanya oleh kenyataan-kenyataan alamiah
itu sendiri. “Apa yang seharusnya” tidak mungkin sepenuhnya lahir dari “apa
yang ada”. Sesuatu yang mempunya fungsi kritis terhadap “apa yang ada” tidak
mungkin sepenuhnya berasal dari “apa yang ada”.
7.
Di belakang tindakan dan pemikiran manusia, ada sesuatu yang tidak
mungin secara tuntas dijelaskan melalui model-model dan metafor-metafor alamiah
dan ilmiah.
Inilah dimensi “supernatural itu”.
Namun, jangan hendaknya anda salah memperkirakan, seolah-olah saya tidak
menantang “saintisme” dengan “supernaturalisme”. Sama sekali tidak! Bila saya
berbicara supernatural, saya tidak berbicara mengenai sesuatu yang berada di
luar (= out side) yang bertentangan dengan alam. Yang saya bicarakan adalah
sesuatu yang melampaui (=beyond) alam, artinya tidak bertentangan,
tetapi tidak dapat sepenuhnya dipahami sebagai gejala atau fenomena alamiah
semata-mata.
Tatkala manusia secara kreatif berusaha menciptakan sintesa-sintesa
baru, ketika ia merancang dan membayangkan masa depan idaman yang baru,
sementara di antara yang ada ia memilih yang paling bermakna, di situ kita
berjumpa dengan suatu unsur kenyataan yang tak kunjung tuntas dijelaskan
melalui analisa alamiah dan ilmiah belaka. Di situ, kita berjumpa dengan
dimensi yang melampaui alam, dimensi yang supernatural.
8. Sesungguhnyalah, tidak ada satu wilayah
pun di dalam kehidupan dan tindakan manusia yang bebas dari dimensi etis.
Selama dalam kehidupannya, manusia masih mempertanyakan yang benar dari yang
salah, mengusahakan yang baik dari yang jahat, selama itulah manusia tak dapat
menghindarkan diri dari pilihan-pilihan etis. Setiap keputusan yang diambil,
pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat, selalu mengandung dimensi etis.
Dan selama dimensi etis itu ada, demikian pula dimensi religius atau
dimensi supernatural ada. Yang saya maksudkan dengan dimensi religius, bukanlah
selalu yang bersifat struktural dan institusional, melainkan segala sesuatu
yang menyangkut nilai-nilai manusiawi yang paling sentral dan hakiki, yang atas
dasar mana kita melakukan penilaian atas segala sesuatu yang lain, di dalam
kehidupan kita. (cf. Richard Niebuhr, Radical Monotheism and Western
Culture. New York: Harper & Row, 1960).Segala sesuatu yang menurut Paul
Tillich, yang menyangkut ultimate concern manusia, dan oleh karenanya menuntut
suatu komitmen yang total.
Yang saya katakan di atas, sama sekali tidak mengada-ada. Ia sebenarnya
selalu terjadi di dalam kenyataan. Misalnya, ketika sementara ilmuwan
berbicara, dan oleh karena itu memberi peringatan, tentang terancamnya struktur
lingkungan hidup manusia akibat pengurasan sumber-sumber alam secara tidak
bertanggungjawab, peledakan penduduk dan polusi. Apakah sebenarnya yang terjadi
di sini? Saya tidak menyangkal bahwa ilmuwan-ilmuwan itu mengemukakannya
berdasarkan analisa data alamiah yang mereka lakukan secara ilmiah. Tentu!
Tetapi sekaligus dengan itu, sadar atau tanpa sadar di belakang benak mereka,
mereka tentu mempunyai prakonsepsi-prakonsepsi tentang apa kehidupan yang
“baik” itu, tentang apa kualitas hidup yang “manusiawi” itu. Sebab bila tidak
begitu, mereka tentu tak perlu memberi peringatan dan mencanangkan tanda
bahaya. Tetapi bila demikian halnya, kita harus mengatakan bahwa apa yang
“baik” dan apa yang “manusiawi” itu adalah sesuatu yang tidak dapat diukur
menurut parameter-parameter ilmiah dan alamiah. Tidak dapat, oleh karena
keduanya mengandung dimensi-dimensi supernatural. Sekali lagi, bukan yang
bertentangan dengan atau berada di luar alam, tetapi dimensi yang melampaui
alam, dimensi yang ekstra-empiris. Itulah yang terjadi setiap kali seorang
ilmuwan tidak hanya merasa berkewajiban untuk menjelaskan, tetapi juga
memperingatkan.
9. Ada pula yang harus saya kemukakan
tentang perbedaan antara “sains” dan “teknologi”, tentu saya dari perspektif
etika sosial (cf. R.B. Lindsay, The Scientific and technological revolution
and their implication for society, Zigon 7, 1972).
Secara amat sederhana dapat saya katakan, bahwa tujuan paling akhir dari
sains adalah untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang dunia bahkan seluruh
alam semesta, sedangkan tujuan teknologi adalah sedapat-dapatnya mengubah
dunia. Tentu ada hubungan yang amat erat antara keduanya. Begitu eratnya,
sehingga kita mengenal apa yang disebut scientific technology pada satu
pihak, dan technological science pada pihak lain. Tanpa sains, teknologi
tak dapat berkembang. Tanpa teknologi, sains mandul tanpa efek praktis.
Namun demikian, keduanya tidak selalu berjalan bersama-sama. Pada sains,
orang berusaha mengetahui apa yang ia kuasai. Pada teknologi, orang berusaha
menguasai apa yang ia ketahui. Tapi kita tahu, bahwa di dalam kenyataan kita
mengetahui ada beberapa hal yang tidak dapat kita kuasai, dan sebaliknya kita
dapat menguasai beberapa hal yang tidak dapat kita ketahui. Dalam logika sains,
kita tidak harus menguasai apa yang kita ketahui. Dalam logika teknologi, kita
tidak harus mengetahui apa yang kita kuasai.
10. Yang ingin saya katakan adalah, bahkan
teknologi tidak pernah cukup dijelaskan hanya berdasarkan kategori-kategori
sains saja. Teknologi mengimplikasikan pilihan. Pilihan yang menurut keputusan.
Dan keputusan yang tidak cuma menyangkut pertimbangan-pertimbangan ilmiah serta
alamiah semata-mata. Pemilihan teknologi tertentu jauh lebih sering kita pahami
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat supernatural dari pada
natural. Misalnya: bagaimanakah secara ilmiah dapat kita jelaskan penggunaan
teknologi medis yang mahal untuk menolong seorang janda berusia 80 tahun yang
sebatang kara dan tidak punya apa-apa serta mengidap penyakit kanker dalam
stadiun lanjut? Bagaimanakah secara ilmiah dapat kita jelaskan tentang
perdebatan mengenai pemanfaatan tenaga nuklir dan pembangunan reaktor-reaktor
nuklir. Maksud saya, bila pertimbangan sains saja yang diperlukan di sini,
perlukah sebenarnya perdebatan itu? Atau, apa yang terjadi ketika kita harus
mempertimbangkan atau tidak memperkembangkan proyek rekayasa genetik? Apakah
sains itu sendiri membekali manusia dengan pertimbangan yang diperlukan untuk
mengambil keputusan?
11. Oleh karena itu, saya mempunyai
keyakinan yang dalam, bahwa teknologi selalu mengandung di dalamnya nilai-nilai
yang menuntut komitmen kepada sesuatu yang bersifat supernatural. Ia mengandung
persoalan-persoalan etis. Ia mengandung persoalan-persoalan yang tidak dapat
dijawab baik oleh teknologi maupun oleh sains yang melahirkannya. Ia menuntut
keputusan etis. Tetapi, di sinilah justru kita berhadapan dengan permasalahan
yang rumit. Yaitu ketika kita harus mengatakan, bahwa teknologi sebenarnya
tidak hanya dan tidak boleh hanya menjadi urusan para teknolog dan teknokrat.
Bagaimana kita harus mengambil keputusan etis tentang masalah-masalah sains dan
teknologi? Siapa yang harus mengambil keputusan itu?
12. Etika adalah ilmu yang bersifat
normatif dan yang menganut metode pendekatan yang bersifat preskriptif.
Walaupun saya tidak menyangkal bahwa di dalam praktek sering kali memang
terjadi seperti apa yang dituduhkan oleh sementara ilmuwan yang bergerak di bidang
sains, yaitu bahwa etika melakukan pendekatan serta analisa yang tidak ilmiah,
tidak rasional, tidak relevan dan sewenang-wenang, etika yang benar
sesungguhnya tidaklah demikian. Etika memang tidak mengklaim dirinya obyektif,
deskriptif dan bebas nilai, tapi ini sama sekali tidak berarti bahwa ia tidak
ilmiah. Ini tentu saja apabila yang dimaksudkan dengan “ilmiah” itu tidak hanya
apa yang dimengerti oleh saintisme. Ilmiah di sini yang dimaksudkan adalah: ia
mempunyai asumsi-asumsi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, ia
melakukan analisis secara rasional, logis dan jernih dan ia melakukan
pendekatan masalah secara konsisten, koheren dan sistematis.
Sesuai dengan hakekat dan fungsinya, etika adalah ilmu yang secara
ilmiah bertugas untuk melakukan penilaian terhadap kenyataan, dan bertujuan
untuk membantu manusia ketika ia harus memilih dan mengambil keputusan mengenai
apa yang benar dan salah (deontologis), apa yang baik dan jahat (teleologis),
bahkan apa yang tepat dan tidak tepat (kontekstual) bagi tindakan
manusia, baik secara individual ataupun secara kelompok.
Bagaimana ia melakukan penilaian atau keputusan itu? Ia melakukannya
tidak hanya dengan membabi-buta menerapkan dan memaksakan norma-norma yang
diasumsikannya (inilah yang sering dituduhkan sebagai kesewenang-wenangan etika
itu), tetapi dengan pertama-tama berusaha untuk mengetahui sedapat-dapatnya
dan selengkap-lengkapnya yang harus dinilainya itu. Mengambil keputusan etis di
dalam masalah-masalah yang menyangkut sains dan teknologi, berarti:
pertama-tama berusaha untuk sedapat-dapatnya dan selengkap-lengkapnya
mengetahui segala sesuatu yang menyangkut sains dan teknologi itu.
13. Persoalan kita mulai persis di situ.
Charles Birch, seorang bio-sainitis, di dalam kertas kerjanya yang dikemukakan
dalam salah satu dalam pertemuan Dewan Gereja-Gereja se Dunia di Potsdam,
Jerman Timur, baru-baru ini mengemukakan dengan jelasnya (dengan menyindir buku
Arthur Koestler, Bricks to Babel) betapa terpilah-pilahnya dunia para
ilmuwan itu, sehingga yang satu tak mungkin lagi mengerti dan berbicara dengan
yang lain. Dunia ilmiah manusia di abad
modern ini ditandai dengan semakin meraksasanya kompartementalisasi dan
semakin rumitnya spesialisasi ilmu. Setiap ilmu mempunyai terminologi dan credo
(syahadat)nya sendiri-sendiri. Seperti kisah menara Babel, para insinyur
sekarang ini tak dapat lagi memahami apa yang dikatakan oleh para pendeta, dan
sebaliknya. Begitu sulit para pembuat batu bata itu memahami visi si arsitek,
begitu sulit para ahli filsafat sepakat tentang apa mestinya fungsi menara itu,
dan begitu sulit para konservasionis serta para penyajak mengatasi rasa marah
mereka melihat apa yang menurut anggapan mereka sebagai pencemaran dan
penajisan lingkungan kehidupan yang seharusnya dikuduskan. Semakin tinggi
menara itu, semakin hebat pula pertengkaran di antara pembangunnya. Akhirnya
semua komunikasi pun akan hancur. Apa pun maksud baik ketika orang mulai
membangun menara itu, semuanya berakhir menguap ke udara tanpa sisa.
14. Menurut Birch, krisis pengetahuan
dewasa ini adalah krisis ahli-ahli. Model yang dominan dari ilmu pengetahuan
sekarang adalah bahwa ilmu pengetahuan itu seolah-olah dapat dibagi-bagi ke
dalam kompartemen-kompartemen yang disebut disiplin-disiplin. Di mana satu
disiplin relatif bebas terhadap disiplin yang lain. Yang disebut ahli adalah
selalu spesialis di dalam satu disiplin. Dan kemudian orang berpikir, bahwa
kalau saja suatu masyarakat mempunyai spesialis-spesialis dari semua disiplin,
maka para ahli itu yang akan membimbing seluruh masyarakat kepada tindakan yang
benar bahkan kepada kebenaran itu sendiri.
Kenyataan ternyata tidak menunjukkan demikian. Menurut Birch, oleh
karena dua alasan : Pertama, ilmu pengetahuan tidak dapat dibagi ke dalam kompartemen-kompartemen
yang terpisah-pisah tanpa kehilangan kesatuannya, yaitu kesatuan yang tidak
mungkin dapat dikuasai oleh satu-satu segmen apa pun juga. Ilmu pengetahuan
bukanlah batu bata untuk membangun menara. Teori bahwa ilmu pengetahuan itu seolah-olah
bertumbuh secara akumulatif, yaitu seperti kita menumpuk batu bata semakin lama
semakin tinggi, adalah teori yang salah oleh karena tidak sesuai dengan
kenyataan. Yang terjadi ialah, bahwa ilmu pengetahuan itu bertumbuh dalam satu
proses yang selalu bersifat membongkar bangunan yang lama dan membangun yang
baru, dan oleh karena itu selalu berarti membutuhkan fondasi-fondasi dan
perekat-perekat yang baru setiap kali.
Alasan kedua, mengapa disiplin-disiplin itu tidak dapat membawa manusia
kepada kebenaran dan menuntun manusia kepada tindakan yang benar adalah: oleh
karena disiplin-disiplin itu tidak lagi mempunyai perekat yang religius.
Masing-masing disiplin seolah-olah hanya mempunyai tanggungjawab moral terhadap
satu dua bagian saja dari manusia dan tidak terhadap kesejahteraan manusia
seutuhnya. Malah yang terjadi juga adalah, bahwa setiap disiplin terlibat di
dalam persaingan yang sengit dan disiplin-disiplin lainnya, yang satu tidak
menyukai dan merendahkan yang lain, masing-masing mengagulkan dan mengunggulkan
kemuliaan dirinya masing-masing. Dan semakin tercabik-cabiklah kehidupan
manusia. Sains dan agama. Ekonomi dan ekologi. Masing-masing berjalan
sendiri-sendiri. Yang satu tak dapat berbicara dengan yang lain. Atau mungkin
berbicara juga, tapi saling tak mengerti.
15. Di dalam situasi seperti itu, sains dan
teknologi adalah batu-batu bata. Agama adalah batu bata yang lain. Celakanya,
keduanya tak terekat dengan sempurna. Sekadar tertumpuk-tumpuk secara lepas,
yang membuat semakin tinggi menara itu semakin goyah dan semakin berbahayalah
ia. Yang semestinya menjadi perekat atau jembatan antara keduanya adalah etika.
Tapi, yang menjadi masalah ialah, etika dianggap – dan lebih celaka menganggap
diri – juga sekadar sebagai salah satu dari batu-batu yang ada. Para etikus
juga menjadi spesialis. Mereka hanya concerned pada satu dua dimensi
saja dari totalitas manusia. Namun, bagaimana tidak? Spesialisasi ilmu
pengetahuan telah menjadi begitu rumit, sehingga tak seorang etikus pun dapat
(dan memang lebih baik tidak!) mengklaim mengetahui selengkap-lengkapnya.
Pada pihak lain, membiarkan keadaan berjalan terus seperti ini, membuat
kita bertanya-tanya: apakah memang sudah “seharusnya” (ini persoalan etis!)
kita harus membiarkan sains dan teknologi menemukan dan menetapkan nilai-nilai
etis mereka sendiri? Dan lagi, bagaimana kita mesti menilai nilai-nilai itu?
Bagi saya, ini lebih merupakan sebuah dilema. Kita tahu permasalahannya, tanpa
tahu apa jawabnya. Dan memang bukan sayalah yang harus menjawabnya, sebab jawab
itu harus kita cari bersama-sama, kita temukan bersama-sama, kita tetapkan
bersama-sama. Dari sudut pandang kita masing-masing tentu, tetapi dengan
melihat manusia dan kehidupan sebagai suatu keutuhan.
16. Bila ada satu hal yang dapat saya
kemukakan mengenai tang-gungjawab etis dari sains dan teknologi, maka itu
adalah ini. Sudah terlampau lama dan terlampau biasa kita memahami, dan oleh
karena itu melakukan, sains dan teknologi itu dengan berpusat pada manusia
(antroposentris). Oleh manusia dan untuk manusia. Mungkin kita bertanya, bila
bukan oleh dan untuk manusia, untuk apa atau siapa lagi?
Pertama, sains dan teknologi yang antroposentris melihat manusia
terpisah atau paling sedikit di atas atau bebas terhadap segala sesuatu yang
non manusia. Kedua, sains dan teknologi yang antroposentris, melihat segala
sesuatu yang non manusia bukan sebagai sesuatu yang mempunyai tujuan pada
dirinya sendiri, tetapi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan manusia. Cara
berpikir seperti itu telah membawa akibat-akibat yang tidak menggembirakan,
bahkan amat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia sendiri. Pandangan etis,
seolah-olah apa yang baik untuk manusia berarti baik, sudah sepantasnya
ditinggalkan. Bukan apa yang baik untuk manusia saja yang harus menjadi norma
etis kita, tetapi apa yang baik untuk seluruh kehidupan itulah yang harus
diperjuangkan. Dan oleh karena kehidupan manusia itu bersifat saling
tergantung dengan lingkungan kehidupannya, maka yang baik adalah yang baik
bukan saja bagi manusia tetapi juga bagi lingkungannya. Maksud saya, yang harus
diperkembangkan adalah sains maupun teknologi yang berorientasi pada kehidupan
secara utuh. Suatu etika yang menghargai bahwa setiap kehidupan (dan bukan
kehidupan manusia saja) mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
17. Teknologi jelas-jelas bukan tujuan
tetapi alat. Seharusnyalah ia demikian. Tetapi bagaimana di dalam kenyataan?
Teknologi ternyata bukan hanya hamba tetapi juga tuan. Ia adalah ciptaan yang
menguasai manusia. Teknologi tidak lagi menjadi sesuatu yang netral secara
etis. Baik atau buruknya teknologi menjadi amat tergantung kepada siapa yang
menguasai teknologi itu. Bukan saja seperti telah dikemukakan di atas,
teknologi hanya dipahami dan dikuasai oleh para teknolog, yang lebih berbahaya
lagi ialah bahwa teknologi yang paling canggih dan biasanya di sektor kehidupan
yang paling vital ia dikuasai oleh minoritas elit yang berkuasa atau yang
berpunya. Dengan amat mudahnya teknologi berubah menjadi alat untuk manipulasi
dan menguasai kepentingan mayoritas demi kepentingan minoritas yang
menguasainya. Dan alat yang amat sangat ampuhnya. Teknologi yang mempunyai
potensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan karena itu mengusahakan keadilan,
juga mempunyai potensi yang sama besarnya untuk menjadi alat penindas, yang
mengamankan dan melanggengkan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan. Baik
antar negara, maupun antar kelompok di dalam masyarakat.
Ini terjadi, oleh karena monopoli teknologi. Teknologi hanya dimiliki
oleh sekelompok kecil manusia. Teknologi hanya merupakan hasil keputusan
sekelompok kecil manusia pula. Tetapi dampaknya menyangkut hayat hidup semua
orang. Ini harus diterobos. Teknologi harus dijadikan alat untuk mendatangkan
kesejahteraan banyak orang dan lebih mewujudkan keadilan. Ini hanya mungkin
terjadi bila proses pengambilan keputusan dan pemilihan teknologi melibatkan
dan mengikutsertakan sebanyak mungkin orang. Ada pertanyaan yang mengganggu
yang belum kunjung terjawab sampai saya membuat makalah ini : apa sebenarnya
itu mungkin? Teknologi untuk rakyat dan di tangan rakyat? Teknologi untuk
pembebasan dan keadilan? Ataukah, menurut defenisi, teknologi itu memang selalu
elitis? Mengikat manusia dari pada membebaskannya? Memperlebar kesenjangan
daripada menutupnya? Mengatur dan tak dapat diatur?
Ada dimensi etis di dalam teknologi. Tetapi apakah etika dapat berbuat
sesuatu terhadap teknologi? Atau sebaliknya, etika pun pada satu saat mesti
tunduk kepada pertimbangan-pertimbangan teknologi, atau gulung tikar? Saya
betul-betul tidak tahu. Saya betul-betul kepingin diberi tahu. Sebab yang
terbayang di benak saya adalah, misalnya, komplek industri militer, korporasi
multi-nasional, teknologi sandi, intelijen dan propaganda…..
TUGAS (II) PAK
Sains, Teknologi dan Etika
1.
Apa alasan mendasar bagi saintisme
menolak dan tidak mengakui etika sebagai salahsatu disiplin ilmu yang sah?
- Jelaskan secara ringkas dan tepat perbedaan antara sains dan teknologi dilihat dari sudut tujuan yang hendak dicapai keduanya.
- Berikan beberapa argumentasi secara ringkas dan tepat, mengapa kita harus menolak ideologi saintisme?
- Jelaskan secara ringkas, tegas dan tepat apa yang seharusnya merupakan norma etis dari sains dan teknologi?
- Berikan penjelasan dengan tepat apa yang menyebabkan teknologi itu bukan hanya mendatangkan kesejahteraan tetapi juga bisa berpotensi mendatangkan malapetaka.
- Jelaskan apa yang harus dilakukan agar teknologi itu tetap mendatangkan kesejahteraan bagi banyak orang.
- Jelaskan apa sebab, bahwa yang menjadi norma etis bagi kita untuk mengembangkan sains dan teknologi, harus selalu berorientasi pada kehidupan secara utuh dan menyeluruh.
- Jelaskan apa yang menjadi bahaya jika dalam hal melakukan sains dan teknologi itu harus berpusat pada manusia (antroposentris).
Tugas ini diketik dengan komputer.
Diserahkan kembali pada waktu yang ditentukan oleh dosen.